1. DEFINISI
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden : 2000 ).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir < 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000).
2. ETIOLOGI
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah:
1. Aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya, 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
2. Diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrome.
3. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
3. EPIDEMIOLOGI
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).
Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari per 5400-7200 kelahiran.
Tidak diketahui frekuensi yang tepat untuk seluruh dunia, walaupun beberapa penelitian internasional melaporkan angka kejadian sekitar 1 kasus dari 1500 hingga 7000 kelahiran.
Sekitar 20% bayi akan memiliki abnormalitas yang melibatkan sistem neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau gastrointestinal.
Megacolon aganglionik yang tidak diatasi pada masa bayi akan menyebabkan peningkatan mortalitas sebesar 80%.
Mortalitas operative pada prosedur intervensi sangat rendah. Terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup.(Askarpour & Samimi, 2008 & Pasumarthy & Srour, 2008)
Perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4:1. (Pasumarthy & Srour,2008)
Jumlah penderita hirschsprung laki-laki mencapai 70-80% dari kejadian. (Askarpour & Samimi, 2008)
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, Hirschprung dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Penyakit hirschprung segmen pendek.
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit hirschsprung dan lebihsering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
2. Penyakit hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak baik laki – laki maupun perempuan.
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, penyakit Hirschprung dapat diklasifikasikan dalan 3 kategori:
1) Penyakit Hirschsprung segmen pendek/ HD klasik (75%)
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
2) Penyakit Hirschsprung segmen panjang/ Long segment HD (20%)
Daerah agonglionosis dapat melebihi sigmoid malah dapat mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan
3) Total Colonic Aganglionosis (3-12%)
4) Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)
5. PATOFISIOLOGI
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon (Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).
6. MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut: obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
1. Pada anak – anak
• Konstipasi
• Tinja seperti pita dan berbau busuk
• Distensi abdomen
• Adanya masa difecal dapat dipalpasi
• Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi (Betz cecily & sowden, 2002 : 197)
Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan (Budi, 2010).
Menurut Anonim (2010) gejala yang ditemukan pada bayi yang baru lahir adalah:
1. Malas makan
2. Muntah yang berwarna hijau
3. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
Pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun):
1. Tidak dapat meningkatkan berat badan
2. Konstipasi (sembelit)
3. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
4. Diare cair yang keluar seperti disemprot
5. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.
Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis :
1. Konstipasi (sembelit)
2. Kotoran berbentuk pita
3. Berbau busuk
4. Pembesaran perut
5. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
6. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
a. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
• Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir.
• Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali.
b. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi
Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakandefinitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.
7. KOMPLIKASI
- Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat kematian. Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi parsial. Obstruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganglionik yang tersisa masih spastic. Manifestasi klinik dari enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obstruksi seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif cair dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi
- Kebocoran Anastomose
Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat infiltrat atau abses rongga pelvis.
- Stenosis
Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomse, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
Selain itu :
• Obstruksi usus
• Konstipasi
• Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
• Entrokolitis
• Struktur anal dan inkontinensial (post operasi)
(Betz cecily & sowden, 2002 : 197)
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto abdomen
Pada bayi muda yang mengalami obstruksi, radiografi abdomen anteroposterior pada posisi berdiri menunjukkan lengkung usus. Radiografi abdomen lateral pada posisi berdiri tidak memperlihatkan adanya udara rectum, yang secara normal terlihat di daerah presakral.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
• Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
• Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
• Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Kartono,1993).
2. Studi Kontras Barium
Pada kasus yang diduga penyakit hirschprung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan barium enema tanpa persiapan. Temuan diagnostic yang meliputi adanya perubahan tajam pada ukuran diameter potongan usus ganglionik dan aganglionik, kontraksi ‘gigi gergaji (sawtooth)’ yang irregular pada segmen aganglionik, lipatan transversa paralel pada kolon proksimal yang mengalami dilatasi, dan kegagalan mengevakuasi barium. Diameter rectum lebih sempit daripada diameter kolon sigmoid.
Pemeriksaan dengan barium enema, akan bisa ditemukan :
Daerah transisi
Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
Entrokolitis pada segmen yang melebar
Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam (Darmawan K, 2004 : 17)
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan HirschsprunG namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
3. Manometri Anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer (Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993; Tamate,1994; Neto,2000).
4. Biopsi Rektal
Pemeriksaan ini memberikan diagnosa definitif dan digunakan untuk mendeteksi ketiadaan ganglion. Biopsy rektal ini tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus submukosa dan pleksus mienterikus serta peningkatan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dinding usus. (Schwartz, 2004)
5. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bau dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
9. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama (Betz Cecily & Sowden 2002 : 98)
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah (Darmawan K 2004 : 37)
2. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rektal untuk mengeluarkan mekonium dan
udara.
3. Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk.
Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
4. Terapi farmakologi
Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga modifikasi
diet dan wujud feses adalah efektif
Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam megakolon toksik. Tidak memadatkan dan tidak menekan feses menggunakan tuba
5. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan)
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 )
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT ).
1) Tindakan Bedah Definitif
• Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002).
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
• Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
- Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
- Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
- Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
- Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis (Kartono,1993).
• Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990).
• Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson dkk,1990).
10. STOMA
Stoma adalah lubang buatan pada abdomen untuk mengalirkan urine atau feses keluar dari tubuh.
PERAWATAN STOMA
Persiapan Alat dan Pasien
Persiapan pasien
1. Memberi penjelasan pada pasien tentang tujuan tindakan, dll
2. Mengatur posisi tidur pasien (supinasi)
3. Mengatur tempat tidur pasien dan lingkungan pasien (menutup gorden jendela, pintu, memasang penyekat tempat tidur, mempersilahkan keluarga untuk menunggu di luar kecuali jika diperlukan untuk belajar merawat kolostomi pasien
Persiapan Alat
1. Colostomy bag atau cincin tumit, bantalan kapas, kain berlubang, dan kain persegi empat
2. Kapas sublimate/kapas basah, NaCl
3. Kapas kering atau tissue
4. 1 pasang sarung tangan bersih
5. Kantong untuk balutan kotor
6. Baju ruangan / celemek
7. Zink salep
8. Perlak dan alasnya
9. Plester dan gunting
10. Bengkok
11. Set ganti balut
Prosedur Kerja
Persiapan Klien
1. Memberitahu klien
2. Menyiapkan lingkungan klien
3. Mengatur posisi tidur klien
Prosedur Kerja
1. Cuci tangan
2. Gunakan sarung tangan
3. Letakkan perlak dan alasnya di bagian kanan atau kiri pasien sesuai letak stoma
4. Meletakkan bengkok di atas perlak dan didekatkan ke tubuh pasien
5. Mengobservasi produk stoma (warna, konsistensi, dll)
6. Membuka kantong kolostomi secara hati-hati dengan menggunakan pinset dan tangan kiri menekan kulit pasien
7. Meletakan colostomy bag kotor dalam bengkok
8. Melakukan observasi terhadap kulit dan stoma
9. Membersihkan colostomy dan kulit disekitar colostomy dengan kapas sublimat / kapas hangat (air hangat)/ NaCl
10. Mengeringkan kulit sekitar colostomy dengan sangat hati-hati menggunakan kassa steril
11. Memberikan zink salep (tipis-tipis) jika terdapat iritasi pada kulit sekitar stoma
12. Menyesuaikan lubang colostomy dengan stoma colostomy
13. Menempelkan kantong kolostomi dengan posisi vertical / horizontal / miring sesuai kebutuhan pasien
14. Memasukkan stoma melalui lubang kantong kolostomi
15. Merekatkan / memasang colostomy bag dengan tepat tanpa udara didalamnya
16. Merapikan klien dan lingkungannya
17. Membereskan alat-alat dan membuang kotoran
18. Melepas sarung tangan
19. Mencuci tangan
20. Evaluasi respon klien
21. Dokumentasikan
A. PERAWATAN STOMA YANG MENGALAMI INFEKSI
a. Persiapan Alat dan Pasien
Persiapan pasien
1. Memberi penjelasan pada pasien tentang tujuan tindakan, dll
2. Mengatur posisi tidur pasien (supinasi)
3. Mengatur tempat tidur pasien dan lingkungan pasien (menutup gorden jendela, pintu, memasang penyekat tempat tidur, mempersilahkan keluarga untuk menunggu di luar kecuali jika diperlukan untuk belajar merawat kolostomi pasien
Persiapan Alat
1. Colostomy bag atau cincin tumit, bantalan kapas, kain berlubang, dan kain persegi empat
2. Kapas sublimate/kapas basah, NaCl
3. Kapas kering atau tissue
4. 1 pasang sarung tangan bersih
5. Kantong untuk balutan kotor
6. Baju ruangan / celemek
7. Antiseptik (Bethadine)
8. Zink salep
9. Perlak dan alasnya
10. Plester dan gunting
11. Obat desinfektan
12. Bengkok
13. Set ganti balut
b. Prosedur Kerja
Persiapan Klien
1. Memberitahu klien
2. Menyiapkan lingkungan klien
3. Mengatur posisi tidur klien
Prosedur Kerja
1. Cuci tangan
2. Gunakan sarung tangan
3. Letakkan perlak dan alasnya di bagian kanan atau kiri pasien sesuai letak stoma
4. Meletakkan bengkok di atas perlak dan didekatkan ke tubuh pasien produk stoma (warna, konsistensi, dll)
5. Membuka kantong kolostomi secara hati-hati dengan menggunakan pinset dan tangan kiri menekan kulit pasien
6. Meletakan colostomy bag kotor dalam bengkok
7. Melakukan observasi terhadap kulit dan stoma
8. Dengan kassa basah lakukan penekanan pada luka agar bila ada pus dalam luka dapat keluar. Penekanan dilakukan karena meskipun dari luar luka operasi tampak kering, namun sering terdapat pus di dalamnya.
9. Membersihkan colostomy dan kulit disekitar colostomy dengan kapas sublimat / kapas hangat (air hangat)/ NaCl
10. Mengeringkan kulit sekitar colostomy dengan sangat hati-hati menggunakan kassa steril
11. Memberikan antiseptik (homolok)
12. Menyesuaikan lubang colostomy dengan stoma colostomy
13. Menempelkan kantong kolostomi dengan posisi vertical / horizontal / miring sesuai kebutuhan pasien
14. Memasukkan stoma melalui lubang kantong kolostomi
15. Merekatkan/memasang colostomy bag dengan tepat tanpa udara didalamnya
16. Merapikan klien dan lingkungannya
17. Membereskan alat-alat dan membuang kotoran
18. Melepas sarung tangan
19. Mencuci tangan
20. Evaluasi respon klien
21. Dokumentasikan
11. ASKEP HISPRUNG
Trigger 2 Hisprung
An. Karunia usia 7 hari dibawa ke RS karena perut kembung dan muntah. Dari hasil pengkajian perawat ditemukan An. Karunia terlihat lemas, bibir kering, dan menangis terus, tidak dapat tidur dengan nyenyak baik pagi, siang maupun malam. Tidur hanya sebentar-sebentar kemudian menangis. Abdomen distensi dan anak selalu memuntahkan ASI dan formula yang diberikan, ibu mengatakan sehari sebelum ke RS BB anak 3,3 kg ( ditimbang di bidan ) sekarang di RS BB An. Karunia 3,1 kg. TTV An.Karunia RR 42x/mnt, suhu 37,9 C, N=130x/mnt. Riwayat kelahiran An. Karunia anak pertama lahir normal, lahir di tolong bidan, BB lahir 3,6 kg, mekonium pertama keluar pada hari ketiga setelah kelahiran. Melihat kondisi anaknya, ibu banyak bertanya tentang penyakit anaknya dan penyembuhannya. Ibu juga mengatakan belum pernah di keluarganya mempunya penyakit seperti ini. Jadi, ibu tidak tahu harus berbuat apa untuk anaknya.
RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Penyakit yang pernah dialami dan tindakan pengobatan yang dilakukan?
Penggunaan obat?
Minum obat penghilang sakit kepala
Pernah dirawat/dioperasi? Lamanya dirawat?
Alergi?
Makan seafood dan minum obat tertentu
Status imunisasi?
Riwayat kehamilan dan persalinan?
RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Orang tua?
Saudara kandung?
Penyakit keturunan yang ada?
Anggota keluarga yang meninggal?
Penyebab meninggal?
RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Bahasa yang digunakan?
Persepsi pasien tentang penyakitnya?
Pasien khawatir dengan kondisinya saat ini
Konsep diri
• body image? Pasien tidak PD karena ada bercak-bercak di seluruh tubuhnya
• ideal diri?
• harga diri?
• peran diri?
• personal identity?
Keadaan emosi?pasien merasa cemas
Perhatian terhadap orang lain / lawan bicara?
Hubungan dengan keluarga?
Hubungan dengan saudara?
Kegemaran / hobby?
Mekanisme pertahanan diri?
Interaksi sosial?
POLA KEBIASAAN SEHARI-HARI
a. Pola Nutrisi
1. Sebelum sakit
• Frekwensi makan :
• Jumlah makanan :
• Jenis makanan :
• Alergi / intoleransi makanan :
• Nafsu makan :
( ) baik
( ) meningkat
( ) menurun
( ) penurunan sensasi rasa
( ) mual muntah
( ) stomatitis
• Berat badan :
• Tinggi badan :
2. Saat sakit
• Frekwensi makan : sudah sejak 2 bulan frekuensi makannya turun
• Jumlah makanan :
• Jenis makanan :
• Alergi / intoleransi makanan :
• Nafsu makan :
( ) baik
( ) meningkat
( + ) menurun
( ) penurunan sensasi rasa
( ) mual muntah
( ) stomatitis
• Berat badan :
• Tinggi badan :
• Masalah makan dan minum?
• Gigi Palsu?
• Upaya mengatasi masalah?
b. Pola Eliminasi
1. Sebelum sakit
BAB
• Frekwensi :
• Waktu :
• Konsistensi :
• Warna :
• BAB terakhir :
• Penggunaan pencahar :
BAK
• Frekwensi :
• Warna :
• Bau :
2. Saat sakit
BAB
• Frekwensi :
• Waktu :
• Konsistensi :
• Warna :
• BAB terakhir :
• Penggunaan pencahar :
• Riwayat perdarahan :
• ( ) diare ( ) konstipasi ( ) inkontinensia
BAK
• Frekwensi :
• Warna :
• Bau :
• Jumlah :
• Nyeri / rasa terbakar?
• Riwayat penyakit ginjal / kandung kemih?
• Penggunaan deuritika?
• Penggunaan alat bantu (kateter)?
• ( ) inkontine
( ) hematuri
( ) retensi
( ) anuria
( ) oliguri
( ) nokturia
( ) lain-lain : ......................................................................
• Upaya mengatasi masalah?
c. Pola Aktivitas, Latihan, dan Bermain
1. Sebelum sakit
• Kegiatan dalam pekerjaan?
• Olahraga: Jenis? Frekwensi?
• Kegiatan di waktu luang?
2. Saat sakit
• Kegiatan perawatan
- Mandi
( ) mandiri
( ) dibantu sebagian
( ) perlu bantuan orang lain
( ) perlu bantuan orang lain dan alat
( ) tergantung / tidak mampu
- Berpakaian
( ) mandiri
( ) dibantu sebagian
( ) perlu bantuan orang lain
( ) perlu bantuan orang lain dan alat
( ) tergantung / tidak mampu
- Eliminasi
( ) mandiri
( ) dibantu sebagian
( ) perlu bantuan orang lain
( ) perlu bantuan orang lain dan alat
( ) tergantung / tidak mampu
- Makan & Minum
( ) mandiri
( ) dibantu sebagian
( ) perlu bantuan orang lain
( ) perlu bantuan orang lain dan alat
( ) tergantung / tidak mampu
- Mobilisasi
( ) mandiri
( ) dibantu sebagian
( ) perlu bantuan orang lain
( ) perlu bantuan orang lain dan alat
( ) tergantung / tidak mampu
- Ambulasi
( ) mandiri
( ) dibantu sebagian
( ) perlu bantuan orang lain
( ) perlu bantuan orang lain dan alat
( ) tergantung / tidak mampu
• Alat bantu :
( ) kruk
( ) kursi roda
( ) tongkat
( ) lain-lain : ......................................................................
d. Pola Istirahat dan Tidur
1. Sebelum sakit
• Waktu tidur (jam) :
• Waktu bangun :
• Masalah tidur :
• Hal-hal yang mempermudah tidur :
• Hal-hal yang mempermudah bangun :
2. Saat sakit
• Waktu tidur (jam) :
• Waktu bangun :
• Masalah tidur :
• Hal-hal yang mempermudah tidur :
• Hal-hal yang mempermudah bangun :
• Masalah tidur :
( ) sering bangun
( ) insomnia
e. Pola Kebersihan / Personal Hygiene
1. Sebelum sakit
• Mandi : x/hari
• Keramas : x/minggu
• Ganti pakaian : x/hari
• Sikat gigi : x/hari
• Memotong kuku : x/minggu
2. Saat sakit
• Mandi : x/hari
• Keramas : x/minggu
• Ganti pakaian : x/hari
• Sikat gigi : x/hari
• Memotong kuku : x/minggu
PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Compos mentis (kesadaran penuh)
GCS 4 5 6
b. Tanda-tanda Vital
• Tensi :
• RR :
• Nadi :
• Suhu :
c. Antropometri
• BB :
• TB :
PEMERIKSAAN HEAD TO TOE
a. Kepala dan Rambut
b. Mata
c. Hidung
d. Telinga
e. Mulut, Gigi, Lidah, Tonsil, dan Pharing
Edema pada bibir
f. Leher dan tenggorokan
g. Dada atau Thorax
• Paru-paru / Respirasi
Ronchi pada kedua lapang paru
• Jantung / kardiovaskuler dan Sirkulasi
• Payudara dan Ketiak
• Abdomen
h. Ekstremitas / Musculoskeletal
i. Genetalia dan Anus
j. Integument
k. Neurology
DAFTAR PUSTAKA
Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto
Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC
Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC